*Pandiran Warung: _"Timpakulisme..."_*
Dengan suasana panasnya perpolitikan di Banua saat ini, tentu _pian_ sudah mampu menerka arah _pandiran_ ini ke mana. Betul. Fenomena _manimpakul_ saban helatan pilkada acapkali jadi sajian perilaku sosial kita saat ini. Boleh jadi paham _timpakulisme_ tak hanya mewabah di banua, tapi juga dimana-mana wilayah yang sedang memasuki musim politik.
_Timpakulisme_ ini tak serta merta tercela, hakikatnya, meski memang pada praktiknya cenderung mudah untuk jadikan celaan. Sebab tabiatnya yang senang _mambatang timbul_ demi memenuhi kepentingannya tanpa peduli orang lain merupakan sikap paling pengecut dan pantas dicela. Namun bagaimanapun, timpakul adalah makhlukNya yang mungkin tercipta jadi contoh atau gambaran dari perilaku mereka yang senang memanfaatkan momentum atau kesempatan meraih keinginan dan ambisi pribadi meski dengan jalan _manimpakul_ tadi.
Fenomena _timpakulisme_ bisa kita lihat ketika maraknya penggunaan penyebutan diri sebagai Relawan (politik) di tengah hiruk pikuk pencalonan seperti hari ini dan beberapa waktu ke depan. Boleh jadi namanya tak mesti Relawan, bisa Teman si A, Sahabat si B, atau menggunakan frase akronim-akronim. Tujuan, ya, sama. Sebagai upaya untuk menunjukkan eksistensi dukungan.
Tentu hadirnya kelompok yang mengklaim diri sebagai relawan (politik) ini jika kita melihat dari sisi positifnya merupakan gambaran bahwa semakin membaiknya tingkat keikutsertaan aktif masyarakat umum dalam perhelatan politik (demokrasi). Tetapi juga tak bisa kita pungkiri, menjamurnya penggunaan istilah relawan ini cenderung dipersempit sedemikian rupa.
Sejatinya, yang namanya relawan (politik) itu bekerja di area gagasan dan ide yang beririsan dengan kebijakan-kebijakan publik. Apa lacur, realitasnya saat ini, alih-alih bicara ide dan gagasan, kelompok yang menamakan diri relawan (politik) ini sekadar bicara dukungan ke figur politisi yang turut serta berkontestasi.
Dengan fakta itu, akhirnya adanya relawan dan sejenisnya ini (dalam konteks pilkada) hanya akan jadi semacam partai bayangan sebab fungsi bergeser pada soal memobilisasi massa, pengumpulan dana, mengelola isu-isu yang semua hal itu demi kepetingan elektabilitas figur politik. Bahkan sebagiannya akan jadi pelaku-pelaku yang cenderung memainkan peran antagonis melalui serangkaian _black campaign_ pada figur lawan atau istilah sekarang disebut _buzzer._
Di ranah ini, tentu saja sebutan "Relawan" tak pantas disematkan pada kelompok-kelompok macam ini. Kelompok yang meng-klaim diri sebagai relawan namun mereduksi kerja yang mestinya bagian dari aktor media edukasi tetapi justru turut serta bermain di area politik dagang sapi. Maka, jika konsep berfikir sebatas pada _effort_ dukungan ke sosok/figur kontestan, perilaku ini hanya bisa dilakukan oleh para penganut _timpakulisme_ yang justru malah cenderung menipu sebab terkesan tidak ingin disebut tim sukses atau tim kampanye paslon.
Fenomena seperti ini harusnya mempermalukan para politisi yang ada di jajaran partai politik. Ya, sama dengan fenomena ketika satu atau sekelompok partai (besar) malah mencalonkan seseorang (bukan kader) di luar partai sebab gagal menciptakan politisi mumpuni di internal. Bagaimanapun, kelompok paham _timpakulisme_ ini adalah gerombolan orang-orang di luar partai politik yang ingin bermain seperti partai politik. Kehadiran mereka ini bagai sebuah pertunjukan ketidakmampuan dan ketidakmauan segerombolan orang yang tidak berani mengambil resiko alias _kada kawa_ alias _kada dibawai urang untuk masuk di jajaran timses atau hanya upaya mereka sekadar 'cari aman'._
Turut terjun ke lapangan, tapi tak mau/tak bisa memakai jersey kesebelasan. Tapi motivasinya hendak mencicipi kemenangan atau remah kekuasaan seandainya yang didukung meraih kemenangan.
Para relawan (politik) penganut paham _timpakulisme_ ini, sederhananya; _handak masuk timses tagal kada dibawa urang, tapin dibawa jua, kada wani ambil resiko mun paslon nang didukung kalah. Pacang ditandai buan nang manang. Atawa kacamini, minimal wayah rami kampanye mararan kawa umpat mahaup uncuinya saikit saurang._
Sekali lagi, terjebak pada paham _timpakulisme_ bukan hanya menyedihkan sekaligus memalukan, tetapi juga bagian proses menghinakan diri sendiri yang anehnya dilakukan dengan kebanggaan dan kesadaran.
_(Kayla Untara, 04/10/2024)_
Komentar
Posting Komentar