*Pandiran Warung: _"Tambuk sakataraan..."_*
Sekian belas tahun silam, almarhum Abah menerima satu surat undangan dalam amplop besar warna coklat. Isi dalam amplop itu berisi beberapa dokumen dan surat. Surat tersebut adalah undangan menghadiri seremoni pemberian penghargaan doktor kehormatan aka doktor Honoris Causa (dr.HC) atas nama beliau.
Meyakinkan, sebab terlihat sangat formal dan cetakannya pun kualitas _lux._ Kaget dan sempat _himung_ sebab pemberian gelar ini tentu dari suatu prestasi non akademik yang luarbiasa pada bidang khusus atau pencapaian kekaryaan tertentu.
Sempat _ulun_ dan Abah diskusikan, waktu itu, sebab setelah dipelajari seluruh dokumen dirasa ada beberapa kejanggalan. Mulai dari tidak jelasnya indikator yang dijadikan penilaian, nama kampusnya sampai adanya beban biaya (akomodasi) yang harus dikeluarkan. Angkanya cukup besar bagi ukuran kami waktu itu. Jika tak khilaf lebih dari 5 juta. Jelas angka ini di luar kemampuan.
Terkait indikator penilaian pemilihan sosok penerima, menjadi pertanyaan besar bagi Abah waktu itu sebab beliau merasa selama ini tidak punya kontribusi besar yang bersifat menasional. Rasa penasaran yang bercampur _himung_ pada mulanya, sontak berubah jadi kecurigaan. Keyakinan itu diperkuat setelah dicari informasi ke beberapa pihak (terutama disdik HSS) plus menghubungi _contact person_ dalam surat yang menjelaskan alasan bertele-tele. Sebab itulah, Abah mengambil keputusan mengabaikan undangan atau pemberian anugerah dr.HC itu.
Beberapa waktu setelahnya, muncul dalam pemberitaan suatu rangkaian anugerah dr.HC ke beberapa tokoh yang sudah dikenal, seperti Rhoma Irama, Megawati dan beberapa tokoh nasional lainnya. Begitu diamati, nama universitasnya persis seperti surat yang jua diterima abah waktu itu. Ingat, kan, Megawati dalam beberapa kesempatan membanggakan diri sudah mendapatkan lebih dari 2 gelar dr.HC ini dalam orasinya.
Apakah hanya kebetulan atau memang datangnya surat ke abah itu betul adanya, _wallahu'alam._ Tapi keputusan Abah menolak adalah suatu keputusan yang tepat karena beliau tahu diri serta merasa tidak pantas menerima gelar sebesar itu apalagi terkesan macam "membeli"nya dari pihak universitas. Bukannya jadi kebanggaan, malah cenderung berpotensi nantinya jadi _wawadaan kakawanan._
Berita yang kini santer soal artis Raffi Ahmad yang dianugerahi dr.HC ini menarik juga. Setidaknya membuka memori _ulun_ beberapa tahun silam sebagaimana cerita di atas. Banyak orang akhirnya mempertanyakan; _Apa iya, si Aa Raffi layak dapat gelar kehormatan sebesar itu?
Ke-kepo-an tingkat dewa banyak orang akhirnya melakukan penelusuran dan penyelidikan ala netijen. Maka sudah bisa ditebak, para kepo-ers ini menemukan bukti-bukti bahwa universitas si pemberi gelar rupanya universitas abal-abal yang tidak jelas dan jauh dari kompeten.
Tidak salah kemudian ada yang menduga bahwa terjadi kejahatan akademik melalui jual beli penghargaan-penghargaan sejenis. Secara, kita baru saja dihebohkan skandal guru besar (profesor) ULM yang berdampak turunnya akreditasi lembaga pendidikan tinggi terbesar di kalsel ini.
Artinya, dunia intelektual sedang dipermainkan oleh segelintir orang. Meski bukan isu baru, kejahatan dan pemerkosaan terhadap marwah intelektualitas dunia pendidikan di negara ini terlampau sering kita temui dan sudah berlangsung lama. Tak hanya skala _jaba,_ tapi sampai ke tingkat strata tertinggi penguasa. Bukankah kasus ijazah (yang diduga) palsu Mulyono sampai sekarang masih simpang siur kebenarannya.
Dalam kasus artis Raffi Ahmad, orang-orang lantas mempertanyakan ada maksud dan tujuan apa dengan pemberian gelar itu? Urgensinya apa?
Karena situasi politik negara ini terlampau konyol jadi pembicaraan tiap hari, akhirnya, ya, pasti dikait-kaitkan ke soal politik dan kekuasaan. Apalagi _saduniaan_ tahu bagaimana kedekatan Raffi dengan para penguasa dan pengusaha.
Soal benar tidaknya, mungkin hanya Raffi dan _circlenya_ yang tau. Selebihnya, kita hanya bisa menduga dan berspekulasi. Namun yang pasti, fenomena penyematan gelar dan pemberian gelar macam kasus Raffi ini menempatkan gelar itu jadi terlihat murah dan murahan. Ijazah palsu, nilai palsu, jurnal palsu, bahkan akun (medsos) palsu hanya akan mencetak orang-orang palsu yang penuh kepalsuan.
Meski mereka yang masih percaya dan mempertahankan kejujuran serta integritas jauh lebih banyak, maka perilaku hina di dunia intelektualitas hari-hari ini yang mestinya jadi standar kedua setelah moralitas, menjadikan kita semua akhirnya jadi _tambuk sakataraan._
_(Kayla Untara, 01/10/2024)_
Komentar
Posting Komentar