Pandiran Warung; "Balajar Mambaca Garambuak..."
Pasca ditetapkannya paslon dan nomor urut kontestan pilbup HST, maka harapan untuk memiliki banyak kontestan tertutup. Artinya, kita akan dihadapkan hanya pada dua pilihan. Aulia-Mansyah atau Rijal-Rosyadi. Tidak akan ada alternatif ketiga dan seterusnya. Walau hal itu sempat jadi harapan banyak orang.
Di situasi macam ini maka kita dituntut menggunakan skill yang dimiliki para angler alias buhan paunjunan. Sebab jika betul-betul peduli, maka tidak cukup hanya melihat sebatas pada apa-apa yang hadir di permukaan atau ruang-ruang publik apalagi sekadar jargon-jargon konyol yang ada. Terlalu spekulatif jika hanya sekadar managuki janji-janji kala kampanye. Di sinilah keahlian buhan paunjunan diperlukan sebab mereka memiliki kemampuan untuk memprediksi ikan jenis apa yang ada dalam air hanya dari melihat garambuak yang muncul. Bisa menebak sebesar apa ikan berdasar dari burinik atau kacuap yang merambat ke permukaan.
Paslon Aulia-Mansyah tentu tak banyak yang perlu kita baca sebab memang kontestan petahana. Rekam jejak selama kepemimpinan di periode sebelumnya akan jadi barometer utama menentukan oranga tetap loyal memilih atau tidak. Secara umum, kita yakin Aulia paham situasi dan ragam isu-isu yang jadi perhatian publik di Barabai. Dengan posisinya sebagai petahana ia dengan mudah memanfaatkan instrumen birokrasi yang ada dalam upaya menyusun strategi. Tetapi posisi ini tak bisa dipungkiri macam bumerang, bisa jadi keuntungan sekaligus potensi kerugian. Aulia harus punya metode dan pendekatan khusus jika ingin menggiring opini pemilih fokus pada ‘prestasi-prestasi’ yang dibuatnya selama menjabat.
Andai ada kebijakan dan keputusan politik selama ia memimpin tidak populer atau bahkan dinilai tidak berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan orang banyak, maka ini akan dibaca oleh musuh politiknya sebagai kelemahan yang bisa dijadikan amunisi serangan menjatuhkan kredibilitas dan citranya. Terutama target sasaran isu ini akan efektif gorengannya di hadapan 4000-an ASN selaku 'eks bawahan' Aulia. Meski Aulia pun pasti meyakini, suksesi kepemimpinan bukan tatkala ia mampu menyenangkan semua orang. Tetapi setiap yang dianggap keputusan tidak populer tetaplah mempengaruhi loyalitas sebagian orang.
Dalam tengah situasi demokrasi kita saat sekarang, paparan tentang klaim prestasi-prestasi kelembagaan secara lokal ataupun nasional tidak akan terlalu relevan mampu jadi pendongkrak suara kemenangan. Sudah sewajarnya, keuntungan sebagai petahana membuat Aulia mampu berbicara perihal yang terkait langsung ke masyarakat luas berdasar pada analisa dan data yang sudah dimiliki selama menjabat sebagai Bupati.
Maka terhadap paslon Aulia-Mansyah ini yang kita tunggu adalah terobosan-terobosan yang bersifat konkrit dan realistis. Apabila terjebak bicara hal-hal standart, normatif bahkan misal menyajikan narasi-narasi basi, ya sebaiknya ia mencari konsultan kampanye lain saja. Artinya ia tak mampu mengolah strategi politik berdasarkan pada data-data empiris yang harsunya ia miliki selama periode jabatannya.
Sebagai penantang, Rijal-Rosyadi tentu butuh effort lebih. Kemampuan public speaking yang jadi satu keunggulan Aulia di sisi petahana harusnya jadi perhatian. Belum lagi sudah jadi rahasia umum bahwa ada aktor-aktor oligarki di belakang majunya Rijal sebagai penantang kompetisi yang mana hal ini jadi beban moral sekalgus beban sosial yang harus bisa Rijal netralisir agar memperoleh simpati dan dukungan. Tim kampanye yang menamakan diri Tim Dozzer sudah dipastikan memiliki kemampuan finansial yang juga besar karena bergerak dalam upaya memenangkan pertarungan di beberapa kabupaten kota.
Kemampuan finansial besar ini (ulun yakin) bisa dipastikan ada pemodal di belakangnya. Sebagai contoh saja, bagaimana seorang Lisa Halaby di Kota Banjarbaru yang bahkan belum masuk masa penetapan paslon sudah menggebrak publik Banjarbaru melalui event-event besar demi mengumpulkan massa yang tentu semua itu butuh biaya besar. Di Barabai sendiri juga setali tiga uang. Konsep pencitraan dan upaya menaikkan popularitas figur melalui event semisal tabligh akbar, konser musik dan sejenisnya juga diterapkan. Strategi yang sama dijalankan oleh Tim Dozzer di semua wilayah kontestasi se-Kalsel meski frekuensinya saja yang berbeda-beda.
Kondisi ini membuat Rijal-Rosyadi dinilai tersandera oleh kepentingan. Lebih-lebih Rijal yang eks prajurit TNI bukanlah kader dari salah satu partai penyokongnya, tentu jika bukan sebab popularitas dan kharisma yang dimiliki maka ada hal lain yang kita tak pernah tau apa sehingga mampu membuat parta-partai besar memilih jadi penyokong majunya Rijal sebagai calon Bupati. Asumsi soal tersandera kepentingan ini harus dimentahkan oleh Rijal-Rosyadi. Bagaimanapun inilah tantangan utama mereka. Anggapan skeptis bahwa paslon ini hanya pinokio tukang kayu dan batu harang dipastikan jadi hal serius. Pertaruhannya, orang akan menilai bahwa semua arah kebijakan, jika mereka dapat kemenangan nantinya, jelas akan selalu berpihak pada pemodal. Rijal dan wakilnya tak bisa bicara soal prestasi ataupun kiprah personal ataupun komunalnya di hadapan publik sebab memang tidak pernah ada selain bahwa Rosyadi pernah jadi anggota dewan dan pernah tersemat gelar ustad di depan namanya.
Maka jalan satu-satunya yang bisa dilakukan (selain mengejewantahkan asumsi ke-tersandera-an tadi), yaitu melakukan tawaran-tawaran politik yang mumpuni melalui ide dan gagasan kreatif sebagai solusi banyak hal. Hingga mampu meyakinkan bahwa gagasannya jauh lebih baik dari apa yang pernah dan akan ditawarkan rivalnya. Baik dari visi yang diusungnya ataukah narasi-narasi politik yang dibangun selama pencalonan.
Celakanya, dalam kondisi masyarakat kita yang cenderung me-munafikan-an diri, segala persoalan-persoalan politik pencalonan dinilai oleh pemain alias kontestan bisa selesai dengan berbagi remah-remah rupiah menjelang hari pencoblosan. Kenapa ulun menyebut kita kadung me-munafik-an diri, sebab di satu sisi kita berharap ada perbaikan di setiap lini dan jalannya demokrasi tetapi di satu sisi kita memaklumi dan meng-amini adanya praktik-praktik kotor pilkada selama ini semisal bagi-bagi duit di kala kampanye yang mana dianggap sebagai berbagi rejeki.
Ambiguitas moral inilah yang jadi titik lemah utama kenapa proses kepemiluan makin kacau dan kehilangan energi positifnya. Sayangnya, semua ini terjadi secara sistematik dan terstruktur. Tak hanya di lingkup masyarakat bawah, tapi juga dilakukan secara kolektif oleh banyak lembaga yang terlibat dalam urusan kepemiluan.
Dengan adanya fakta itu, pertarungan yang hanya ditempati dua paslon, jika kita mau sedikit peduli maka tak ada salahnya belajar bagaimana cara mambaca garambuak dengan kawan paunjunan agar kita memiliki keyakinan ini ikan apa dan sebesar apa lantas menjatuhkan pilihan kepada siapa. Toh, tidak ada lagi alternatif ketiga selain tidak memilih. Tetapi mengambil keputusan tidak memilih malah hanya mempertontonkan diri bahwa kita tak punya pendirian.
(kayla Untara, 06/10/2024)
Komentar
Posting Komentar